Dalam  postulat reliabilitas dikatakan bahwa orang-orang yang paling  cerdaspun  tidak pernah selamanya kebal dari kesalahan-kesalahan  menganalisa dan  mengambil kesimpulan-kesimpulan. Pertama-tama mungkin  dia menggunakan  premis-premis yang salah. Selanjutnya mungkin dia tidak  mengikuti secara  tertib dasar-dasar logika formal, atau juga terlalu  dipengaruhi  keinginannya.   
Tak terkecuali Sigmund Freud dengan teori  seksualitasnya. Tercatat  sejumlah kalangan bergerilya “menelanjangi”  mulai dari psikolog,  filosof, agamawan, dan lainnya. Namun dalam konteks  psikologi Islami,  penulis menemukan data berupa empat kajian wilayah  filosofis ilmu yang  menjadi tema untuk mengkritik Freud, yakni  ontologis, empiris,  epistemologis, dan ideologis.
Hal ini  penting, penulis melihat psikologi Islami menancapkan empat  wilayah  filosofis ilmu ini, sebagai upaya sistematisasi dalam hal  mengkritik  teori seksualitas Sigmund Freud. Ontologi sebagai hakikat  keribadian  dalm teori seksualitas. Epistemologi sebagai upaya Freud  dalam  memperoleh teori seksualitas tentang kepribadian. Sedangkan  kritik  empiris yang dilancarkan psikologi Islami mencoba menaungi  temuan fakta  yang berbeda dangan apa yang teori Freud sajikan. Terakhir  kritik  ideologis sebagai muara dalam perdebatan di mana konsep Freud  dibangun  atas pendapat semata, yang akhirnya pendapat itu bukanlah  bangunan  konsep yang diteliti Freud dengan matang. Namun dlam hal ini  penulsi  ingin memkai bingkai ontologi untuk mengkritisi itu. 
Kritik  ontologis pada kajian ini dimaksudkan untuk mengeksplor kritik  psikologi  Islami terhadap prinsip-prinsip utama teori seksualitas Freud  tentang  kepribadian.
1. Prinsip Kesenangan Seksualitas
Interupsi  keberatan terhadap Freud terjadi ketika pengagungan logika  materialisme  untuk menjelaskan kompleksitas manusia, dipegang kuat oleh  Freud. Dengan  begitu, struktur yang diciptakannya hanya berpangkal  dari rasionalisasi  jisim yang invalid. Ringkasnya, Freud hanya berpusat  pada penjelasan  seks sebagai nafsu syahwat penggerak semua kehidupan.  Karena itu,  psikologi Islami memandang psikologi Freud tak lebih  sebagai psikologi  ketubuhan, terkhusus seks. 
Paradigma yang menjadi unsur  terpenting atau substansi pokok dalam  kritik psikologi Islami adalah  logika Freud yang bertentangan dengan  dogma Islam. Para psikolog muslim  kemudian mempercayai bahwa dengan  berpegang pada psikologi Islami akan  terjadi eliminasi dalam kekeliruan  konsep manusia seadanya ala Freud.  Menurut Freud, id yang ada dalam  alam bawah sadar diisi oleh tenaga  psikis yang disebut lbido yang  berkarakteristik seksual. Samantho  berpandangan, jalan pertama untuk  menangkal itu semua adalah dengan  pengakuan diri bahwa tiada tuhan  selain Allah, dengan landasan tauhid  ini orang niscaya terbebas dari  perbudakan pemikiran spekulatif Freud  yang menganggap kondisi libido  seksual sebagai tuhan. 
Teori  seksualitas Freud dicap sebagai kesia-siaan karena terlalu  pesimis  memandang hakikat kehidupan. Selain karena pesimisme itu buruk,    pesimisme sendiri tidak sesuai kenyataan manusia sesungguhnya.  
Daniel  Goleman, mantan redaktur sains tingkah laku di New York Times  dan  penulis buku EQ, pun turut berkomentar, bahwa gambaran Freud  tentang  diri manusia merupakan model paling dekat yang dapat diraih  peradaban  barat, dan baginya ini kurang baik. Karena model tersebut  lebih  pesimistis ketimbang model-model alternatif yang dikembangkan  para  psikolog di luar universitas (dalam hal ini adalah pandangan  psikologi  transpersonal). 
Elmira menulis bahwa eksplanasi Freud tentang bentuk  psikopatologis  perilaku manusia yang bersumber dari kekuatan libido,  menunjukkan  penjelasan yang dangkal. Kekuatan dorongan tersebut telah  membutakan  manusia dan menjadikannya tidak berdaya untuk mengembangkan  diri ke  arah positif, tetapi malah mengarahkan penyimpangan perilaku  dalam  upaya mengatasi, menahan, dan menyiasati dorongan seksual. Manusia   dalam ketidakberdayaan melawan libido yang digambarkan Freud, menjadi   wujud makhluk yang begitu pesimis bahwa ia dapat keluar dari belenggu   impulsnya. Seolah-olah tidak ada potensi, misalnya, berupa akal, kata   hati, nurani, dan keyakinan akan dukungan supranatural berupa iman dan   takwa kepada Tuhannya, yang dapat dikembangkan oleh dirinya sendiri   untuk melawan han yang instingtif. 
Pernyataan Freud bahwa  manusia pada dasarnya buruk dengan ciri khasnya  ketika dilahirkan hanya  mempunyai id dan bahwa superego terbentuk  ketika seseorang berinteraksi  dengan orangtua, adalah pernyataan yang  sarat kritik. Psikologi Islami  mempercayai bahwa ruh menghiasi jiwa  ketika terjadi konsepsi manusia,  maka dalam dirinya diletakkan adanya  kecenderungan untuk kembali kepada  nilai-nilai kebaikan. Dalam hal ini,  superego bukanlah hasil dialektika  tapi keniscayaan. Dengan begitu  juga eksplanasi teori Freud akhirnya  mengeleminir substansi aspek  psikis manusia, seperti emosi. Padahal  dalam psikologi Islami, kita  mengenal emosi positif dan emosi negatif. 
Kritik  selanjutnya ialah ketika teori seksualitas Freud dapat  membahayakan  akhlak umat jika menjadi worldview, karena Freud  menganggap halal  hubungan kelamin bagi setiap manusia, entah ia sudah  menikah atau belum.  Dan Islam yang memandang cinta haram dalam  seksualitas non muhrim ini  menjadi terpinggirkan dalam negatifisme  Freud. Islam tidak menyuruh  mengingkari nafsu seksual. Islam justru  menerima kepuasan dan kesenangan  dari hubungan heteroseksual. Namun  Islam berupaya mengendalikan  ekspresi kebutuhan fisiologis agar  seseorang dapat hidup dalam suatu  cara yang sesuai dengan konsep  keberimanan dan memberdayakannya untuk  menjalani kehidupan yang tertib.  Karenanya, seorang muslim yang  mempunyai iman yang kuat dalam agamanya  dapat secara sadar mengendalikan  dorongan-dorongannya untuk mematuhi  kewajiban yang telah ditetapkan  atas dirinya oleh Allah tanpa menjadi  frustasi seperti tertuang dalam  surat Ali Imran/3: 14.
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia  kecintaan kepada apa-apa yang  diinginkan, yaitu wanita, anak-anak,  harta yang banyak dari jenis  emas, perak, kuda pilihan,  binatang-binatang ternak, dan sawah ladang.  Itulah kesenangan hidup  dunia; dan sisi Allah-lah Tempat kembali yang  baik (surga).”  
Selain  itu, manusia tentu dibentuk dengan segenap nafsu, tapi tak  selamanya  nafsu itu berkonotasi negatif. Karena seperti dikatakan  Mazhahiri bahwa  dalam Islam kita juga mengenal nafsu lawwamah yang jika  itu hidup dapat  membimbing manusia. 
Pada konsep biseksualitas, Freud tampak  selaras dengan persepsi Ibnu  Arabi yang menyatakan bahwa Zat Allah  bersifat feminim dan maskulin,  begitupun Adam dan Hawa melekat sifat  feminim dan maskulin. Namun  perjalanan sufistik Ibnu Arabi menempatkan  ia pada suatu kesimpulan  akan pentingnya koridor transenden seksualitas  kepada penghormatan  lawan jenis yang berbeda sekali dengan Freud dalam  memahami perempuan.
“Ketika pertama kali saya mengambil jalan  sufisme, saya sangat membenci  perempuan dan saya menahan diri dari  hubungan seks selama delapan  belas tahun hingga saya mengalami suatu  keadaan spiritual. Saya menjadi  takut tehadap perempuan ketika saya  memahami (makna) hadis yang  menyatakan bahwa Rasulullah SAW. diciptakan  oleh Allah untuk mencintai  perempuan sehingga beliau mencintai mereka  bukan karena sifat fisiknya,  melainkan karena Allah menyebabkan beliau  mencintai mereka. Ketika  saya benar-benar berkonsentrasi kepada Allah  (mencari pencerahan) dalam  masalah ini, sebab saya merasa takut akan  kemungkinan Allah murka  kepada saya karena saya telah membenci hal yang  telah Allah tanamkan  kecintaan kepada Rasul-Nya, terpujilah Allah yang  telah mengilhami  saya- dan membuat saya mencintai perempuan. Kini saya  paling ramah  kepada mereka di antara seluruh makhluk dan saya paling  menghormati  perempuan- karena saya ini bukanlah didorong oleh nafsu  fisik,  melainkan karena Allah telah menyebabkan saya mencintai mereka.” 
Freud  berdalil bahwa ada mekanisme insting atau biologis bawaan yang  membuat  manusia cenderung melakukan agresi. Teori ini kemudian dianggap  tidak  bisa dipercaya oleh para ahli biologi. Di Seville, Spanyol pada  tahun  1986 sekelompok ilmuwan bertemu untuk menyelidiki sebab-sebab  agresi  manusia. John E. Mack menjelaskan hasil-hasil Pernyataan  Kekerasan  Seville. Dalam Pernyataan Seville para penandatangan,  termasuk ahli-ahli  psikologi, ilmuwan syaraf, ahli genetika,  antropolog, dan ilmuwan  politik, menyatakan bahwa tidak ada dasar  ilmiah bagi anggapan bahwa  manusia adalah makhluk yang berpembawaan  agresif, yang pasti akan  berperang berdasarkan sifat biologisnya.  Singkatnya, Penyataan Seville  menyiratkan bahwa kita mempunyai  pilihan-pilihan yang jelas dan bahwa  munkin ada jenis tanggung jawab  baru dalam tingkah laku kehidupan  kelompok manusia. Arti penting  Pernyataan Seville itu adalah  implikasinya untuk penjelasan, sikap, dan  penyelesaian konflik manusia.  Pernyataan Seville mengarah pada inti  salah satu perbincangan pokok  dalam penelitian teori konflik, apakah  akar pokok konflik manusia itu  akan ditemukan di dalam sifat dasar  (genetik) atau didikan atau nurture  (lingkungan). 
Selanjutnya, an-Najar melihat sebuah kebenaran  penting dan besar, yaitu  jika Freud dikenal sebagai peletak teori  cinta-kebencian dan  kematian-kehidupan, sementara itu at-Tirmidzi, pada  abad ke-9 telah  mengemukakan dualitas yang ditemukan jauh sebelum Freud  lahir. Dalam  buku Al Masail Al Makmunah, at-Tirmidzi berkata:
“Berbagai  kecenderungan hati mengarah kepada cinta dan kehidupan  sedangkan  berbagai syahwat naluri mengarah kepada kematian dan  kekuasaan. Hati  adalah tempat diletakannya cinta. Sesungguhnya  kehidupan timbul dari  cinta. Adalah pengetahuan, ia tempat disimpannya  cinta. Dengan demikian,  hati akan hidup oleh pengetahuan yang  selanjutnya ia menjadi ringan.  Ketika hati telah ringan, ia akan cepat  kepada ketaatan.” 
At-Tirmidzi  berpandangan bahwa kehidupan dan cinta adalah selalu  berdampingan.  Adapun sumber berbagai naluri dan syahwat adalah sesuatu  yang diletakkan  di dalam diri manusia, yaitu kematian dan kekuatan.  Kematian dan  kekuatan selalu berdampingan. Sedangkan cinta dan  kehidupan, keduanya  selalu dibarengi dengan keringanan, kebahagiaan,  kecongkakan, dan kasih  sayang. Adapun kematian dan kekuatan, keduanya  selalu dibarengi dengan  keterbebanan, kesedihan, ketidakmenentuan, dan  kekerasan.  
Kritikan  kepada Freud oleh psikologi Islami, akhirnya tidak saja  mengeksplor  kerancuan sistemik dari teori keprribadian, namun sampai  pada titik  penyajian fakta yang menguak orisinalitas sebuah gagasan  yang telah  usang ada dalam literatur Islam.
2. Perkembangan Kepribadian dan Deterministik Historis
Orang-orang  pun tersentak tidak percaya ketika anak-anak pada umur satu  sampai lima  tahun didera insting seks besar-besaran yang menciptakan  masa depan  prematur. Freud dinilai mengada-ada dan terlalu memaksakan  percepatan  kedewasaan psikologis manusia bahwa anak berumur tiga tahun  sudah  mempunyai birahi tinggi untuk meniduri orangtuanya. 
Selain itu,  Freud terlalu mengangungkan determinasi sejarah sebagai  takdir matinya  kebebasan humanitas manusia. Tentu menjadi ambivalensi  dengan nama  mazhab yang melekat dengan psikologi “esek-esek” Freud  yaitu  psikodinamika yang menitiberatkan terhadap konstelasi jiwa  manusia.
Seperti  dikatakan Sofia Retnowati bahwa memang benar jika manusia  dipengaruhi  oleh masa lalu yang kelam, tapi tentunya tidak berarti  manusia tenggelam  menjadi korban masa lalu secara berkepanjangan.  Kita  pun bisa melihat  seorang anak yang mengalami kondisi buruk, toh tetap  “sehat-sehat” saja  di kemudian hari.
Karenanya adalah perlu untuk membandingkan  gagasan psikoseksual Freud  dengan konten Islami untuk mencari wawasan  bagaimana perkembangan anak  semestinya. Zahratun Nihayah dan kawan-kawan  menyarikan itu dalam  al-Qur’an sebagai jawaban. Menurutnya tugas-tugas  perkembangan pada  umur satu sampai tujuh tahun menurut psikologi  perkembangan Islam  adalah sebagai berikut:
a. Pertumbuhan  potensi-potensi indra psikologis seperti pendengaran,  penglihatan, dan  hati nurani. Tugas orang tua adalah bagaimana mampu  merangsang  pertumbuhan berbagai potensi tersebut, agar anaknya mampu  berkembang  secara maksimal. Seperti dikatakan Allah dalam firmannya 
”...Dan  Allah mengeluarkan kalian dan perut ibu kalian dalam keadaan  tidak  mengetahui apa-apa, dan ia memberikan pendengaran, penglihatan,  dan hati  sanubari agar kamu bersyukur...” (QS An-Nahl: 78).
b.  Mempersiapkan diri dengan cara membiasakan dan relatif hidup yang  baik,  seperti dalam berbicara, makan, bergaul, penyesuaian diri dengan   lingkungan, dan berperilaku. Jika pembiasaan ini tidak dibiasakan  sedini  mungkin maka ketika dewasanya, akan sulit dilakukan; dan
c. Pengenalan aspek-aspek doktrinal agama, terutama yang berkaitan dengan keimanan. 
Psikologi  Islami membenarkan bahwa faktor keluarga memperkuat  kepribadian pada  anak. Akan tetapi, tidak pada koridor mengagungkan  seksualitas infantil,  karena faktor keluarga memegang vitalitas pada  pemikiran dan perilaku  anak yang justru akan memperkuat stabilitas  kepribadian dalam melihat  seksualitas. Ini sesuai hadis nabi.
ما من مولود الا يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه كما تنتج البهيمة جمعاء هل تحسون فيها من جدعاء.
“Tidak  seorang bayi pun kecuali dia terlahir berdasarkan fitrah. Lantas  kedua  orangtuanya-lah yang menjadikan dia seorang Yahudi, Nashrani,  maupun  Majusi. Sebagaimana binatang yang melahirkan anak dengan  sempurna,  apakah kalian rasa ada cacat pada anak binatang tersebut?” 
Selanjutnya,  al-Istanbuli mempunyai cara tersendiri untuk mengarahkan  perkembangan  seksual yang terjadi pada anak-anak. Dalam skemanya,  orangtua bukanlah  semata-mata menjadi tujuan identifikasi, namun  orangtua hanyalah sebatas  menjadi mediasi bagi anak untuk melakukan  identifikasi utama kepada  ajaran luhur agama. Sebagai contoh dalam  pendidikan seks, orangtua wajib  memberikan arahan tepat dalam menyelami  pengetahuan tentang seksulitas.  Mula-mula ada penjelasan terhadap  anatomi tubuh. Agar anak tidak  terperanjat dalam fantasi birahi, orang  tua kemudian menggiring atau  beralih ke sistem reproduksi hewan.  Selanjutnya diisi dengan kisah-kisah  keagamaan, seperti kisah Nabi  Yusuf A.S, dengan pelajaran tentang  kehormatan, harga, diri, dan  ketakwaan kepada Allah Swt. 
Ahmad  Mubarok mengatakan sesuai surat As-Sajdah/32 ayat 7-9 bahwa akal   didesain dalam sistem yang sempurna, dan dengan akal manusia   dimungkinkan untuk menemukan dan mengikuti kebenaran.  Sisi humanistik   manusia adalah pada cara pemahamannya yang mampu membuat otonomi dalam   menentukan pilihan psikologisnya. Selain itu al-Qur’an menganggap orang   yang mengikuti hawa nafsunya sebagai orang yang tidak berilmu.  Dengan   begini setidaknya ada korelasi kealpaan fungsi akal oleh Freud dengan   kecenderungan syahwat.
Menurut Rahman, baik aliran filsafat  kebebasan manusia, free will atau  free act maupun aliran  qadariyah-muktazilah, kesemuanya memberikan  peran besar kepada manusia  dalam memilih, berpikir, menentukan atau  memutuskan perbuatannya.  Kebebasan dalam aliran filsafat bukan berarti  kebebasan tak terbatas,  melainkan kebebasan dalam determinisme.
Berbagai faktor  hereditas, pendidikan, kebiasaan, lingkungan sosial  dapat memberikan  pengaruh pada kebebasan diri atau pikiran manusia  dalam memilih atau  memperbuat sesuatu. Bahkan faktor rasional dan moral  tidak kurang  berpengaruhnya pula. Hanya semua itu tidak dapat memaksa  pilihan atau  putusan manusia. Manusia tidak dapat dibayangkan laksana  suatu mekanisme  atau organisme yang berjalan sesuai dengan suatu pola  yang tidak  memiliki pilihan. 
Menjadi antitesa dari basis Freud yang sudah  mematok umur satu sampai  lima tahun sebagai batas menjadi “manusia”,  namun Allah memberikan  kebebasan kepada manusia untuk menempuh jalan  hidupnya. Namun di balik  itu, Ia menghimbau pula agar kejelekan  dihindarkan. Seseorang yang  berakal sehat sudah pasti memilih untuk  berbuat baik.  
3. Konsep Ego
Upaya Freud untuk memahami  hubungan antara peristiwa negatif dan  kemampuan ego untuk  menaggulanginya dengan mekanisme pertahanan via  alam bawah sadar  mendapat tafsiran berbeda dari berbagai pakar. Pada  akhir tahun 1970-an  seperti disitir Stein dan Book para peneliti  meyakini bahwa yang terjadi  adalah sebaliknya, situasi stres bisa  menghasilkan strategi atau gaya  yang sangat disadari, yang dikembangkan  oleh orang yang mengalami stres  untuk menyesuaikan diri. Dan temuan  ini menjadi kabar gembira bagi  mereka yang ingin mengatasi stress  dengan jalan yang lebih baik. 
Sungkar  mengurai betapa bedanya antara pengertian ego Freud dengan  Islam.  Menurutnya, Sigmund Freud memang memiliki konsep ego yang  cenderung  mengikuti prinsip-prinsip realistis, obyektif, rasional, dan   proporsional. Akan tetapi, batasan dan wawasan ego dari Freud tidak  sama  sekali bisa disamakan dengan kecenderungan fitrah dalam psikologi   Islami, sebab Freud tidak mengenal kebenaran sejati. Konsep ikhlas yang   seharusnya menjadi penurunan tingkat ketegangan dalam Islam, menjadi   iklhlas dalam batasan konprefosional materialistik atau   kepuasan-kepuasan lain yang disetujui kecenderungan-kecenderungan psikis   yang dihayatinya di luar konteks ridho Allah. Selanjutnya Sungkar   menilai bahwa ikon psikologi Freud adalah psikologi id atau hawa nafsu   dan tak ada kaitannya dengan spesifikasi ibadah vertikal dan horisontal   dalam Islam seperti takwa. Manusia dengan ego dominan dalam konsep  Freud  hanyalah sekedar manusia yang berhasil mengarahkan tujuan prinsip   kesenangan id kepada objek-objek kesenangan dunia yang nyata atau   empirik dan bukan yang imajiner seperti yang dikenal dalam proses pikir   primernya. Jadi tidak perlu heran kalau teori seksualitas Freud tidak   menawarkan konsep pribadi-pribadi sehat. Baginya semua orang adalah   neurosis. Terlebih sangat disayangkan, Freud justru mengajak penderita   neurosis untuk menanggalkan jubah superego yang notabene justru menjadi   transendentalisme luhur dalam psikologi Islami.  
Manusia mempunyai  kalbu sebagai daya nafsani. Terlebih kalbu tidak  hanya sebatas bersifat  pasif atau media hidayah oleh Allah Swt., karena  menurut Ma’an Ziyadah  ketika dikutip Mujib, kalbu dapat bersikap  “supra rasional” dengan  aktivitasnya seperti berpikir.  Dengan  demikian, dimensi rasionalisme  dan hati ini dapat menjadi pintu untuk  menyelami mekanisme pertahanan  ego dalam psikologi Islami. Karenanya,  hawa nafsu bisa ditekan tanpa  akhirnya menimbulkan neurosis. Ini  seperti diurai oleh al-Hilali yang  menyatakan setidaknya ada lima pokok  perbuatan agar pintu hawa nafsu  tertutup.
1. Segera menghubungkan nikmat dengan pemberi nikmat.
2. Segera melakukan sujud syukur ketika mendapatkan nikmat.
3. Berinfak dengan apa yang disukai nafsu.
4. Berlebihan dengan melaksanakan amalan tawadhu.
5. Memperbanyak ibadah. 
Manusia  juga tidak harus “pusing-pusing“ mengulangi sejarah masa kecil  untuk  meredam psikopatologis, karena tema kekinian berpeluang besar  menurunkan  kecemasan. Seperti dikatakan Sukanto yang menegaskan bahwa  bentuk rasa  syukur adalah salah satu mekanisme pertahanan diri.  Ditambahkan olehnya  bahwa neurosis bukanlah sebuah gangguan yang  dilandasi akan ketegangan  seksual, namun terjadi karena aspek psikis  yang terlibat dalam sengketa  destruktif antara jatidiri dan semu diri.  Selanjutnya, Sukanto mencoba  merumuskan mekanisme pertahanan diri  dengan subordinasi nafsiologi.
a.  Sabar. Sabar dapat menjadi kekuatan dahsyat untuk melawan hawa   (dekadensi atau kemerosotan moral) dan paralisa mental. Untuk melawan    hawa, sabar bukanlah sikap pasif, melainkan aktif menghalau jejak-jejak   setan.
b. Adil. Keadilan yang kita maksud adalah yang tidak berat  sebelah, di  mana sering tersandung dalam penilaian nisbi. Keadilan  artinya adalah  keseimbangan. Allah itu maha adil. Artinya Allah SWT.  serba menjaga  makhluk ciptaan-Nya. Manusia dilengkapi dengan kesadaran  diri, yang  dengan itu ia diberi kebebasan untuk menentukan jalan  hidupnya sendiri,  namun masih terikat oleh aturan tertentu.
c.  Janji dan amanat. Janji itu artinya prasetia atau ikrar (niat yang   teguh), yang yang mengikat kebebasan individu dengan sengaja, hingga   ikrar itu menjadi kenyataan. Dengan menepati janji berarti   menyempurnakan segala masalah yang mengikat rasa, sampai ikatan itu   lepas, karena janjinya telah terpenuhi.
Sedangkan amanat mengandung beberapa pengertian seperti kepercayaan,  dapat dipercaya, dan rasa keadilan.
d.  Jujur. Tidak seorangpun yang mengingkari bahwa jujur itu adalah  suatu  kekuatan yang pengaruhnya tampak dalam realitas kehidupan.  Pengaruh ini  mewarnai nafs yang bersangkutan sebagai dorongan potensial  berbuat  lurus. 
Hal yang menjadi penting adalah sebaliknya jika berbagai  mekanisme  pertahanan ego disangkal atau tidak lakukan, akan berakibat  pribadi  terjerembab dalam penyakit hati. Uraian ini coba dirangkum  al-Qorni  dalam mendata penyakit hati. Ia coba bersandar pada wasiat Nabi  yang  mengatakan ciri orang munafik salah satunya adalah menyalahi  janji. 
Gagasan mengenai ego turut disentuh Muhammad Iqbal. Sebelum  itu, jika  Freud cenderung menjadikan fokus alam bawah sadar sebagai  esensi  kepribadian, Iqbal lebih menekankan kesadaran sebagai titik pijak   personalitas ketimbang spekulasi alam bawah sadar manusia. Dalam bahasa   Iqbal, ego pusat dan landasan organisasi kehidupan manusia adalah ego   yang dimaknai sebagai seluruh cakupan pemikiran dan kesadaran tentang   kehidupan. Karena itu, kehidupan manusia dalam keegoannya adalah secara   terus menerus menaklukan rintangan halangan demi tercapainya Ego   Tertinggi yaitu Tuhan. Apalagi, manusia juga harus mencipta hasrat dan   cita-cita kilatan cinta, keberanian, dan kreatifitas yang merupakan   esensi dari keteguhan pribadi. Jika kita benturkan dengan mekanisme   sublimasi Freud, dapat dikatakan bahwa sublimasi bukanlah hasil dari   estetika ekspresi subjektif, namun cenderung objektif. Karenanya,   bayangan Tuhan dalam hal ini menjadi objek dari keteguhan estetika Ego   Tertinggi. 
Pada perkembangannya, ketika musibah datang  menghampiri dan mekanisme  pertahanan ego Islami seperti sabar dan bentuk  lainnya sulit  membendung, manusia cukup melakukan mekanisme ikhlas.  Karena dengan  jalan ikhlas segalanya akan kita tujukan kepada bentuk  kepasrahan  sebagai hamba. Keikhlasan sendiri seperti diurai Khalid  adalah  mendedikasikan, dan mengorientasikan seluruh ucapan dan  perbuatan,  hidup dan mati, diam, gerak dan bicara, kesendirian dan  keramaian,  serta segala tingkah laku di dunia ini hanya untuk satu hal  yakni  meraih keridhaan Allah SWT. 
Dari skema mekanisme  pertahanan ego ini, manusia coba dibawa pada dua  sikap. Pertama fokus  kepada problem kekinian, dan urung kembali ke masa  lalu dengan jalan  fiksasi regresi. Kedua dengan jalan efektif dan  rasional yang senantiasa  menyeimbangkan kadar emosi. Kita ketahui bahwa  mekanisme undoing atau  penyangkalan tidak akan menghilangkan masalah  mendasar dan cenderung  bersifat sesaat. Ketika tegangan insting seksual  datang lagi, individu  tidak bisa menggaransi dirinya akan menjadi  lebih baik. Khalid kemudian  menawarkan “sub mekanisme pertahanan”  ikhlas dengan tingkatan pertama  menuju itu adalah meluruskan niat  terlebih dahulu.  
 
0 komentar:
Posting Komentar